Seorang politisi 'kuat' menawarkan jasa untuk memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia (FI). Padahal dia tahu persis kontrak Freeport, baru akan berakhir pada 2021, dan baru bisa diperpanjang 2 tahun sebelumnya (2019).
Agar perpanjangan bisa lewat jalan tol, sang politikus memberi syarat. Pertama, perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia ini mesti menyisihkan saham 20 persen. Saham itu 11 persen untuk Presiden Joko Widodo, dan 9 persen sisanya, untuk Wakil Presiden, Jusuf Kalla.
Kedua, sang politikus meminta agar ia diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika, Papua. Pada proyek listrik ini, FI diminta menjadi investor sekaligus pembeli tenaga listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut.
Itulah yang dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI hari ini (16/11/2015). Sudirman, sebelumnya sudah melaporkan hal ini kepada Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya, menurut Sudirman, marah.
Siapa politisi itu? Biarkan MKD yang menyebut. Toh kini Sudirman sudah melepas bola panas ini ke MKD. Sebelumnya, banyak politisi yang meminta Sudirman meminta membuka nama politisi yang mencatut nama presiden dan wakilnya. Bahkan bila tidak mau menyebut, Sudirman dianggap menyebar fitnah.
Kasus ini sesungguhnya adalah bagian dari jalan menuju korupsi politik yang terus-terusan melanda negeri ini. Menggunakan posisinya sebagai politisi, ia bisa melakukan hal-hal untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Korupsi politik juga diduga dilakukan oleh Dewie Yasin Limpo, politisi Hanura yang beberapa waktu lalu ditangkap KPK. Ia diduga menerima suap dari pengusaha yang dijanjikan akan mendapat proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Proyek itu baru akan dianggarkan tahun depan.
Penyebab korupsi politik, sangat kompleks. Yang bisa dipastikan adalah raibnya moral politik dari politisi. Ia menjadi figur yang hanya mewakili dirinya dan kelompoknya. Melupakan kewajibannya memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya.
Buku "Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi", karya politisi Pramono Anung, mengungkapkan motivasi kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi, menjadi pendorong utama seseorang jadi legislator. Motivasi lain, yaitu ideologi, aktualisasi sikap politik, memperjuangkan kepentingan minoritas, hanya disebut sebagai motivasi retorik.
Buku yang merupakan hasil riset untuk desertasi ini mengungkap mahalnya biaya seorang untuk menjadi legislator. Seorang caleg bisa menghabiskan biaya kampanye Rp 6 miliar.
Mengembalikan "biaya investasi" untuk mendapatkan kursi kekuasaan, tak bisa dihindari. Sebab tak sedikit legislator yang biaya investasinya dari berutang. Begitu pun politikus yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka juga mengeluarkan biaya investasi yang tidak kecil, dari mahar untuk mendapatkan dukungan parpol, sampai kampanye, dan memainkan politik uang demi meraih pemilih.
Dalam upaya mengembalikan modal menjadi penguasa, tak jarang bersinggungan dengan tindak korupsi. Politisi pun berusaha mengamankan diri dengan tindakan-tindakan koruptif lainnya. Menyuap petinggi yudikatif, misalnya. Itulah yang terjadi pada kasus Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho.
Korupsi politik, sesungguhnya adalah antitesa demokrasi. Tiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif dan yudikatif, diciptakan sebagai sebuah ekologi politik, untuk menjaga keseimbangan.
Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter pernah berujar, bahwa demokrasi tidak lagi dapat mentolerir praktik-praktik suap, penipuan, dan ketidakjujuran.
Ucapan Carter itu sepertinya tak laku di Indonesia. Sebab di sini, suap, penipuan, ketidakjujuran, dan korupsi justru terjadi pada pilar-pilar demokrasi. Laporan tahunan KPK 2014, menyebutkan pada kurun 10 tahun, KPK telah menyeret ratusan eksekutif ke bui.
Mereka adalah: 20 menteri dan kepala lembaga, 12 Gubernur, 45 walikota/bupati, serta 116 pejabat eselon I sampai III. Di bidang legislatif ada 77 anggota DPR dan DPRD. Sedangkan dari kubu yudikatif, ada 10 hakim.
Data ini sepertinya akan terus bertambah pada tahun berikutnya, mengingat modus korupsi politik tak lagi hanya menyasar dana-dana APBN. Bila penjelasan Sudirman Said terbukti, modus korupsi politik sudah melompat sangat jauh. Menjual nama pimpinan negara, makelar kontrak, sekaligus memeras.
Apapun bentuknya, korupsi politik akan merapuhkan pilar demokrasi. Negara dan rakyat harus tegas menolaknya.
Sumber : beritagar.id