Semangat pemerintahan Indonesia dalam memberantas korupsi sudah ada sejak era Orde Lama, Orde baru hingga Reformasi. Diawali dengan lahirnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menjadi roh gerakan Reformasi 1998.
TAP ini kemudian menjadi cikal bakal semangat anti korupsi yang terkristalisasi dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-Undang no. 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar UU dibentuknya lembaga hukum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga memiliki semangat yang sama, untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi. Hal itu tercermin dalam program unggulan Nawa Cita Jokowi yang jumlahnya ada 9 poin. Dua poin diantaranya berbicara khusus mengenai penegakan hukum dan korupsi.
Poin tersebut yaitu "kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya."
Lantas, bagaimana implementasi Nawa Cita Jokowi dalam satu tahun pemerintahannya khususnya dalam pemberantasan korupsi. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti menilai masih ada upaya bagi Jokowi untuk mempertahankan KPK sebagai lembaga yang kuat dalam memberantas korupsi.
Upaya itu terlihat, ketika Jokowi menyatakan menolak revisi UU KPK yang kini tengah di usulkan di DPR. Menurutnya, penolakan itu bagian dari komitmen Jokowi untuk mempertahankan KPK sesuai dengan Nawa Cita-nya.
Sebab, revisi UU KPK dinilai hanya untuk melemahkan KPK bukan untuk penguatan seperti yang diharapkan. "Buat saya, upaya, untuk mempertahankan KPK sebagai satu lembaga memang ada," kata Ikrar saat dihubungi, Minggu (18/10/2015).
Namun, Ikrar meminta agar sikap Jokowi menolak revisi UU KPK lebih dipertegas. Pasalnya, penolakan revisi selama ini hanya disampaikan oleh Teten Masduki sebagai Kepala Staf Presiden, dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Mestinya kata dia, penolakan itu disampaikan langsung oleh Jokowi di depan publik, untuk menunjukan sikap tegasnya bahwa ia berada paling depan menolak revisi UU KPK.
Sebab siapa tahu, Jokowi memiliki pandangan yang berbeda dengan para menterinya mengenai revisi UU KPK. "Jadi itu yang ingin saya katakan makanya seharusnya. Dia sendiri (Jokowi) yang ngomong di depan press. Bahwa dia (Jokowi) tidak menginginkan, revisi UU KPK. Dan KPK kemudian harus dipertahankan," ujarnya.
Kekhawatiran itu muncul, lantaran belakangan muncul isu revisi UU KPK tetap akan dilakukan. Namun harus ditunda, karena Pemerintah tengah fokus menangani bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan serta fokus pada perbaikan ekonomi. Menurutnya, alasan itu tidak perlu disampaikan oleh menteri Jokowi.
"Tidak perlu karena ada alasan sekarang ada perbaikan ekonomi, makanya, revisi UU KPK ditunda dulu. Kalau saya yang jadi, saya harus tegas, selama saya jadi Presiden UU KPK tidak akan saya revisi," jelasnya.
Meski begitu, Ikrar masih melihat ada harapan pemerintahan Jokowi untuk merealisasikan Nawa Cita-nya, yakni mempertahankan KPK sebagai lembaga satu-satunya yang gigih memberantas korupsi.
"Namun, lagi-lagi ia meminta harapan itu harus lebih dipertegas dengan sikap dari Jokowi. Saya terus terang masih melihat, bahwa pemerintah masih, tetap serius untuk mempertahankan, KPK sebagai suatu institusi, penegakan hukum ya. Tapi lagi-lagi Presiden, harus membuat suatu pernyataan sendiri, tidak lewat menteri atau tidak lewat kepala staf," tuturnya.
Mengapa demikian, karena menurutnya, Rancangan Undang-Undang jika sudah masuk di DPR dan disepakati bersama pemerintah. Maka bisa dipastikan akan menjadi prodak UU meski Presiden tidak setuju. "Sekarang kalau bilang masih fokus ekonomi, berarti kan masih ada upaya untuk merevisi UU KPK. Revisi itu akan memperburuk KPK," tegasnya.
Diketahui, sebagian pihak menilai revisi itu akan melemahkan KPK, sebab, KPK dilarang menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. KPK juga dilarang menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp50 miliar.
Selain itu, KPK diusulkan hanya memiliki masa keberadaan selama 12 tahun. Fungsi pendidikan antikorupsi pada KPK juga diusulkan dihilangkan. Ada juga usulan bahwa hanya pegawai negeri sipil (PNS) Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang boleh menjadi pegawai KPK.
(Robbi Khadafi)
Sumber : nasional.harianterbit.com